Tidak Ada yang Lebih Jujur selain Harapan

Manusia takkan jadi manusia, tanpa sebuah harapan. Harapanlah yang menghidupi jiwa manusia hingga ada. Harapan selalu ada di setiap rongga jiwa dan hati, mengalir bak gemericik sungai yang sunyi dan jernih, membubung bak gemerlap bintang di langit, serta berdiri tegap seperti bulan purnama berwarna kuning sempurna di hari Waisak, hari penuh pengharapan.

“Saya berterimakasih pada dua hal; pada Tuhan dan padamu. Terimakasih pada Tuhan sebab telah menghadiahkan kado terbaik bagi saya, terimakasih padamu sebab telah menjadi kado terbaik yang pernah saya dapatkan dari Tuhan,” bisik Gibran, serta hanya ia seorang yang mendengarkan. Sedangkan sosok gadis di sampingnya masih tampak asyik memandang ratusan lampion yang tengah disiapkan untuk diterbangkan. Gadis itu tersenyum takjub menanti-nanti lampion diterbangkan, berusaha tak menggubris keramaian orang yang sama-sama menanti, juga berusaha cuek dengan lelaki yang menunggu di sampingnya.

“Lampion-lampion itu adalah media pengharapan. Diterbangkan menuju langit malam sebagai ujung akhirnya, dengan nyala api kecil kemerahan sebagai pemantik agar lampion itu melayang. Barangkali kamu tahu bahwa dari ratusan lampion itu menyimpan berjuta-juta harapan yang didengungkan manusia. Saban tahun ritual ini selalu ada, sebab tentu saja; manusia selalu penuh pengharapan pada setiap masa,” celetuk Gibran agak keras, agar gadis di sampingnya mendengar.

“Kamu hanya lihat pada sisi baiknya saja; pengharapan. Bukankah pengharapan itu muncul sebab adanya ketidakpastian? Ketidakpastian adalah sisi buruknya. Manusia selalu menghidupi pengharapan sebab selalu adanya ketidakpastian, yang menghasilkan ketidakberhasilan, kekecewaan, dan kisah-kisah kesedihan. Betapa malangnya nasib manusia seperti kita ini,” jawab gadis itu.

“Harapan dan ketidakpastian itu sama-sama kodrat yang mau tidak mau harus diterima setiap manusia. Tergantung kamu ingin memaknai kehidupan dengan menghidupi wacana pengharapan atau sekedar ditidurkan lalu menyerah oleh ketidakpastian. Saya tidak memungkiri adanya ketidakpastian, namun saya lebih memilih berjuang dengan pengharapan-pengharapan itu, agar setidaknya saya tidak menyerah dan menemukan diri saya sendiri sebagai manusia,” tukas Gibran lagi.

Gadis itu mengangguk, meski ada rasa tidak puas pada raut wajahnya. Gadis itu mencoba tersenyum, memberikan secercah ketenangan dan kedamaian bagi siapapun yang memandang wajah gadis itu. Gibran melirik sekilas, lalu kembali ikut memandangi lampion yang sudah akan diterbangkan. Kerumuman pun perlahan bersorak menghitung waktu, “Tiga, Dua, Satu..” lalu ratusan lampion diterbangkan, bersama dengan harapan, dan jutaan riuh tepuk tangan juga tangisan. Gibran gugup terhadap dua hal, melihat bagaimana lampion-lampion terbang secara perlahan dan melihat bagaimana gadis di sampingnya menitikkan air mata, menangis. Betapa harapan begitu memikat dan syahdu, betapa tidak ada yang lebih jujur selain harapan.

Maka malam itu Gibran mengatupkan kedua jemarinya, berdoa khidmat. Ia memutuskan tidak berharap apapun, pengharapannya pada lampion yang diterbangkan malam itu hanyalah penuh dengan doa-doa syukur atas hadiah yang telah diberikan oleh Tuhan, atas kehadiran gadis di sampingnya.

Azinuddin Ikram
10-11 Mei 2017
Waisak Borobudur, Magelang

3 pemikiran pada “Tidak Ada yang Lebih Jujur selain Harapan

    1. Kehidupan ini selalu penuh kekecewaan, Mel. Bahkan ketika kita akan memulai kehidupan ini kita semua mengalami fase tragedi bersama; bernama kelahiran, terlepasnya kita dari kehangatan rahim ibu. Namun pada akhirnya kelahiran kita akan sia-sia jika kita harus terus menerus berpangku pada rasa ketidakberdayaan bernama kekecewaan itu, jadi satu-satunya jalan adalah melawannya. Bukankah harapan ialah semangat perlawanan terbaik dan menjadikan kita manusia?

      Suka

Tinggalkan komentar