Sebuah Kota dan Firasat (Cerpen)

Orang-orang berputus asa acapkali mengunjungi kota kesayanganmu itu, barangkali dari mereka ada yang ingin sekedar menghilangkan lelah, ada yang ingin menikmati nostalgia dan bertemu teman lama, ada yang sekedar penasaran, ataupun dengan sengaja membuatnya sebagai peristirahatan terakhir. Kota yang tak pernah ingin kamu tinggalkan, kota yang sebetulnya telah kamu absahkan sebagai milikmu seorang. Kotamu memang termahsyur, terkenal karena labirin kosong, ruang yang senggang, dan sudut-sudut yang sepantasnya patut membuat manusia bersedih.

Hari ini, setelah pergulatan batin bertahun-tahun, aku memutuskan mengunjungi kotamu. Kereta seolah melambat kala menghantarkanku, waktu berjalan terasa lama sekali. Debaran gerbong kereta beradu sama cepat dengan debaran yang ada dalam dadaku. Aku meyakini bahwa bagaimanapun perjalanan kereta ini adalah perjalanan penuh tantangan. Perjalanan yang seolah telah membawa diriku untuk menghadapi ketakutan yang lebih besar lagi. Aku tak henti menarikkan nafas panjang dan menghelanya, agar setidaknya mencairkan suasana pikiran dan hati yang berguncang tak karuan. Aku mencoba untuk tidak boleh cemas terhadap apa yang akan terjadi, sebab inilah pilihanku. Inilah konsekuensi yang harus aku terima.

Memori tentang kota itu perlahan bertebangan dan menembus sekat-sekat ingatan yang ingin aku lupakan. Kata-katamu kala kita berhadapan dengan lampu temaram itu menembus sunyi yang aku simpan rapat-rapat selama bertahun-tahun, “Kota ini bukanlah kota kelahiranku, tapi aku selalu punya cita-cita luhur untuk mati di kota ini suatu hari nanti, kota dengan seribu cahaya yang akan membawa kita pada kehidupan penuh kedamaian dan ketenteraman,” tukasmu penuh dengan percaya diri sembari menggoreskan senyum kecil.

Seringkali dulu kamu menjelasan panjang lebar tentang betapa kamu mencintai kota ini, tentang betapa kota ini adalah penghargaan untuk dirimu sendiri, tentang termahsyurnya kota ini karena dapat membawakan kedamaian kepada kita, penghuninya. Kerapkali aku hanya mengangguk, tanda menyetujui setiap kata-kata yang kamu lontarkan. Sebelumnya aku tak pernah berani mendebat perkataanmu, namun pernah suatu kali pada suatu malam, aku memberanikan diri, bertanya padamu, “Seperti apakah rupa kedamaian selama ini yang kamu maksud dan kamu temukan di kota ini, Adel?”

“Pertanyaan bagus!” pujimu, sembari mengerlingkan mata kepadaku. Kamu melanjutkan, “Kedamaian itu dapat kamu temukan dengan rasa, dengan keterikatan, dengan firasat, sudah pernahkah kamu menjiwai bagaimana sebuah ruang di dalam kota ini dapat memberikan sebersit firasat pada ruang hatimu yang sunyi?”

Aku menggeleng dua kali. Gelengan pertama untuk menjawab, ‘tidak pernah’. Gelengan kedua untuk menjawab bahwa sejujurnya aku tidak pernah mengerti substansi pertanyaan retoris yang keluar dari bibir-bibirmu yang tipis itu. Bagaimana mungkin pertanyaan filosofis serumit itu bisa keluar dari bibir mungilmu?

Kamu kembali menyunggingkan senyum, senyum penuh kepuasan karena melihat kebodohan dan ketidakberdayaanku. Kamu mulai menjelaskan pelan-pelan, “Cobalah kamu jalan-jalan di sepanjang sudut-sudut kota ini, pagi, sore atau malam hari, fajar atau senja hari menjelang petang, ataupun setelah petang itu sendiri. Sebab kamu akan menemui sesuatu yang tanpa pernah kamu duga sebelumnya, diantara bunyi keramaian dan kebisingan kota, diantara sepi dan gusarnya jiwa-jiwa, diantara kantuk dan peliknya manusia, dan diantara langit-langit bujur yang membentang, jika kamu memaknainya secara dalam, kamu akan menemuinya,”

Aku masih mencoba mencerna perkataanmu dengan hati-hati. Tampaknya kamu mengerti bahwa aku tak segera mengerti sedikitpun. Kamu melanjutkan penjelasan itu lagi, “Hari ini adalah hari yang indah di kota ini. Setidaknya aku punya tiga alasan, pertama, malam telah mengabsahkan dirinya menjadi jalanan yang sepi, penuh lengang dan kantuk, hanya menyisakan kita yang dicumbu teka-teki. Kedua, bahkan kala kamu melihat langit saat ini, langit telah menjelma menjadi kabut-kabut tipis yang sejuk, melambungkan kebahagiaan tersendiri. Hal ketiga ialah yang paling aku syukuri, di kota ini aku telah mengenalmu, perjumpaan denganmu adalah hal-hal yang telah lama aku damba, di dalam kota ini aku telah bertemu dengan banyak kedamaian,”

Kala itu aku tertegun. Aku hanya membisu lama. Kamu melihat bola mataku dengan lekat, dengan tangan kanan menyangga dagu, dan tangan kiri mencoba menyentuh tanganku. Sesuatu yang takkan pernah aku bisa lupakan. Kamu perlahan mencoba mengenggam dengan erat tanganku, namun aku menariknya, melepaskannya. Kamu mengangguk, tanpa mendebat, tetapi mengulas senyum kecil dari bibirmu. Tidak biasanya kamu seperti ini, seolah mengerti maksud tubuhku, seolah tersihir oleh dua bola mataku yang menatapmu tajam. Setelah anggukan pertama itu, entah kenapa kamu memutuskan untuk memejamkan mata kali ini, membuat kedua bola mata berwarna coklatmu tak perlu bersinar. Seolah meresapi dan mengkhayati suasana yang menyelimuti kita berdua, kamu mulai bergumam, “Hidup selalulah penuh kejutan, misteri-misteri itu yang akan membuat kita berbahagia ataupun bersedih, di kota ini aku menemui semua firasat itu,”

**

Kereta yang aku tumpangi itu baru saja tiba di kotamu. Menyadarkanku dari ingatan dan lamunan kejadian antara kita bertahun-tahun lalu. Aku keluar dari stasiun, menghela nafas bergegas menuju pemakamanmu, akhirnya, kamu dapat mewujudkan mimpimu untuk mati di kota ini, Adel. Kita sama-sama tahu bahwa kota ini telah lama kamu absahkan sebagai milikmu seorang. Kota yang telah kamu curi untukmu seorang. Kota yang kata orang-orang adalah kota dengan penuh kedamaian. Kota yang setiapkali selalu dapat membuatmu berdecak kagum tentang betapa hebat, elok dan romantisnya. Sayangnya selama hidupmu aku tak pernah dapat benar-benar menjiwai firasat itu, justru selepas kepergianmu di kota ini, aku tersadar akan penghargaan rasa itu. Aku dipenuhi penyesalan, sayangnya aku selalulah terlambat menyadari. Segalanya telah terlambat, perlahan aku bergumam, “Hidup selalulah penuh kejutan, dan akan selalu begitu, Adel,”

Azinuddin Ikram
September 2020.

Kata-kata terakhir terinspirasi dari tulisan Usman Arrumy bertajuk ‘Pada Suatu Sapardi’ yang dapat dibaca di link berikut

Pada Suatu Sapardi

Tinggalkan komentar