Tentang Menuliskan Novel untuk Seseorang (Cerpen)

Cara terbaik melupakanmu adalah dengan berhenti menuliskanmu. Itu yang aku lakukan selama ini. Agar setidaknya aku mengetahui bahwa kata demi kata tentangmu haruslah segera menguai, hilang dari pikiran hingga tak singgah lagi pada perasaan. Tentu saja, aku melalui hal-hal itu dengan penuh kepayahan. Sekali-sekali aku masih menuliskanmu, seperti kali ini. Sebab, rasa rindu yang aku tahan-tahan itu kerapkali mengendap-ngendap, lalu menyeruak begitu saja, tak dapat lagi aku bendung. Bukankah dulu cara terbaik merindukanmu adalah dengan mulai menuliskanmu?

Setidaknya itu yang aku yakini agar terlepas dari belenggu perempuan yang telah aku jatuhcintai di masa lalu. Ternyata, berhenti dari kegiatan menulis tentangmu bukanlah hal mudah. Sampai-sampai bodohnya di bawah kalut rindu itu aku mulai menuliskan sebuah novel untukmu. Bahkan namamu sengaja aku jadikan sebagai tokoh perempuan di novel itu. Sungguh mulia sekali, pikirku dalam mengadu rindu dan kegiatan menulis. Tapi sebab itu pula, aku merasa telah menyambangi kelanjutan hidup yang tanpa arah, terlebih sesaat setelah aku mengirimkan naskah novel itu padamu, tepat di hari ulang tahunmu. Agar romantis, pikirku. Tapi keyakinan dari kepercayaan diri bodoh semacam itulah yang justru seakan semakin memerosotkan tubuhku hingga palung kekecewaan terdalam. Seperti biasa, kamu tak menggubris, bahkan tak sudi untuk sekedar membaca naskah itu secara basa-basi. Begitu berjaraknya kita.

Kala menuliskan novel itu, aku tengah dirundung rindu yang lebat, dengan setiap kata yang aku tuliskan mengandung kesukaan kita, plot-plot, tempat-tempat, impian-impian kita, aku sengaja menghadirkan sebagian dari kemirip-miripan kita dengan tokoh-tokoh dan alur narasi di dalam novel. Ketika aku telah merancangnya sedemikian rupa, kamu dengan mudah mencampakkannya begitu saja. Sampai berbulan-bulan setelah aku mengirimkan, tidak ada tanggapan, tidak ada balasan, tidak ada ujaran terimakasih atas usaha-usaha dan bentuk perhatian yang berlebihan dariku itu. Sejujurnya mungkin kamu memang sudah tidak mencintai aku, atau memang sejak awal pula kamu memang telah tak pernah mencintai aku sedikitpun. Barangkali memang sejak awal kamu pandai menggunakkan topeng kepura-puraan itu dihadapan aku. Sejak awal kamu memang tidak pernah berterus-terang secara sejujur-jujurnya tentang apa yang kamu rasakan. Betapa terjebaknya kita dalam permainan pikiran kita sendiri.

Namun itulah keputusanmu, keputusan yang seratus persen kamu ambil dalam kesadaran yang sesadar-sadarnya. Dan dalam pergolakan pikir dan batinmu, kamu dengan lantang dan tegas mengatakan bahwa harus berjeda pada hubungan yang anggapku telah menjadi ‘kita’. Tanpa aku pernah tahu apa arti dari maksud segala ini. Pada akhirnya novel itu hanyalah kumpulan kata-kata penuh ‘rindu’ yang telah lama mati, dibunuh sendiri oleh pelaku-pelaku yang ada dalam novel itu; penulis dan pembaca yang sengaja dituju. Novel itu hanya menjadi bunga mawar merah yang telah lama layu, tanpa sempat mekar, tanpa sempat diciumi oleh sang pembaca sekaligus sebagai tokoh utama perempuan itu. Setelah hari itu dan seterusnya, pada akhirnya, lagi-lagi aku memilih untuk berjuang berhenti menuliskanmu, sembari aku hanya mampu untuk berdoa sebaik-baiknya doa agar Tuhan memberi kesanggupan atas keputusan yang akan merubah hal-hal yang berkaitan tentang ‘diri’ dan ‘kita’ yang tanpa pernah ada arah. Bukankah atas hal-hal yang terjadi telah menunjukkan betapa menyedihkannya kita dilahirkan sebagai manusia?

Azinuddin Ikram.

Juli 2020.

Tinggalkan komentar